Tuesday, July 3, 2012

Dari skandal ke skandal

KAGET melihat di grand final Indonesian Idol 2012 Sabtu 30 Juni 2012 masa voting untuk memilih antara Sean dan Regina sebagai juara sekonyong-konyong diperpanjang satu pekan? Mungkin baiknya tidak.

Sebab dari tahun ke tahun, sejak dimulai 2004, ajang pencarian bakat menyanyi terpopuler se-Tanah Air itu terus menyimpan skandal. Ini dia daftarnya:

(1) Kudeta kemenangan
KEMENANGAN Joy Tobing pada Indonesian Idol 2004 yang diperoleh melalui voting sms warga dibajak RCTI & Fremantlemedia, operator & pemilik lisensi acara tersebut di Indonesia.

Laiknya gerakan politik, kemenangan Joy dikudeta dan dialihkan ke Delon, dengan alasan sebelum juara Joy sudah punya kaset dengan label lain—hak yang hanya dimiliki BMG & Fremantlemedia.

Namun, Joy merasa tidak bersalah, karena saat membuat album dengan label lain itu, dia belum terikat kontrak dengan Fremantlemedia. Tapi Frementlemedia kukuh, lalu menyingkirkan Joy.

(2) Setting yang tak adil
BINTANG tamu yang ikut menonton Indonesian Idol lazimnya duduk di barisan depan, atau berbaur bersama penonton. Mereka sering jadi suara alternatif di luar juri, yang mengomentari kontestan.

Tapi tidak dengan Titik Puspa, pada babak 3 besar Indonesian Idol 2008 dia duduk diapit orang tua Aris. Kamera berkali-kali menampakkannya ikut berdendang saat Aris tampil.

Di kerumunan pendukung Patudu, lawan Aris, tak ada satu artis pun, dan kamera menyorotnya sekelebat saja. Ketidakadilan kamera ini juga terjadi saat Mike bertarung melawan Judika (2005)

(3) Juri yang mellow
PADA setiap musim Indonesian Idol, selalu ada peserta yang membawa cerita penderitaan keluarga. Kadang juga sengaja dikorek-korek juri. Masalahnya, juri terbawa suasana, dan akhirnya lupa.

Banyak juri menangis karena diaduk-aduk perasaannya, akhirnya iba. Para juri terpesona, tapi bukan pada suara. Akhirnya, peserta dengan cerita penderitaan keluarga sering lolos ke Jakarta.

Kemenangan Ihsan pada 2006 adalah puncak mellowisme alias kecengengan ini. Sepanjang ajang itu, nyaris tak ada komentar pedas untuknya, sekalipun saat penampilannya benar-benar payah.

(4) Juri yang jadi pedagang
INI juga terjadi di hampir setiap musim. Juri, dengan kesombongan pengalamannya mengenali pasar, menggunakan klaim pertimbangan pasar dalam menilai kontestan.

Padahal, juri seharusnya menilai kontestan dari aspek kualitas suara. Sebab klaim selera pasar, atau lebih tepat persepsi pasar, sering subjektif, menyimpan kepentingan, dan tak selalu benar.

Juri harus paham, menempatkan pasar sebagai ukuran tertinggi berkesenian adalah dosa kreativitas. Pasar adalah setan penggoda iman berkesenian, dan kontestan tak boleh dilihat sebagai komoditas.

(5) Juri yang jadi penonton
KALAU skandal yang ini selalu—dengan garis besar serta huruf besar dan tebal—SELALU terjadi pada setiap musim. Juri gagal mencegah diri untuk tidak bertingkah layaknya penonton.

Banyak juri yang refleks bereaksi menggoyang-goyangkan kepala saat seorang kontestan tampil memikat. Tak cukup itu, beberapa juri bahkan bangkit dari tempat duduk dan bergoyang.

Reaksi lugu juri-juri yang over-acting itu tentu akan membuat kontestan tampil lebih bersemangat. Tapi juga sebaliknya. Jadi seharusnya, reaksi juri ditunjukkan setelah penampilan kontestan berakhir.

(6) Juri yang jadi juru tebak
JURI bertugas menilai kualitas kontestan, memvonis siapa penyanyi terbaik di tiap babak secara profesional, dan memberi pendapat yang mungkin bisa memengaruhi preferensi penonton.

Itulah yang dilakukan saat menilai kontestan, tapi tidak saat jadi juru tebak siapa yang tersingkir. Saat menebak, juri acap berada pada situasi tarik-menarik dengan hasil-hasil voting sebelumnya.

Dirly (2006), Delon (2004), juga Yoda (2012) yang beberapa kali ditebak juri terelimasi tapi tak terbukti, menunjukkan betapa independensi juri limbung dalam situasi tarik-menarik itu.

(7) Juri yang tak konsisten
INKONSISTENSI ini terutama soal penilaian penampilan fisik kontestan—yang seharusnya tidak dinilai. Contoh paling jelas dari skandal ini adalah diskriminasi yang dialami Delon (2004) dan Mike (2005).

Di televisi, ketampanan dan kelangsingan acap berkelindan dengan popularitas. Tapi bagi Delon, ketampanannya adalah bahan ejekan juri. “Kamu hanya punya tampang!” kata Titi DJ suatu kali.

Sebaliknya bagi Mike, yang tambun & buncit, faktor fisik tersebut diabaikan, dianulir, bahkan dianggap absen. “Ternyata kamu juga lincah, bisa berjoged,” kata Dimas Jay, juri yang lain.

(8) MC sebagai kontestan
SIAPAPUN juara Indonesian Idol, pemenangnya RCTI & Freemantlemedia. Ukurannya perolehan kiriman sms. Kian banyak sms yang bertarif premium itu dikirim, kian tebal pula kocek RCTI & Freemantlemedia.

Itu sebabnya semua pembawa acara (MC), pada tiap musim di segala kesempatan, selalu menekankan, kadang menakut-nakuti, bahwa ‘Juri boleh mengatakan apa saja, tapi keputusan di tangan Anda.’

MC yang menghancurkan otoritas juri ini adalah kontestan yang bekerja untuk kemenangan RCTI & Freemantlemedia. Jadi, jangan kaget kalau masa voting untuk Regina dan Sean diperpanjang.

(9) Voting yang misterius
RAKYAT Indonesia tentu tidak memilih—seperti klaim MC-MC Indonesian Idol. Tak ada orang luar tahu, juga juri & kontestan, berapa sms yang diraih sampai seorang kontestan harus terus atau pulang.

Tak ada transparansi. Seperti tahayul, di mana orang tak merasa perlu menemukan kebenaran. Yang ada hanyalah klaim sepihak, si A lolos dan si B tidak. Silakan percaya dan diterima, tak ada pilihan lain.

Perhatikan babak spektakuler 5 awal Juni lalu, saat Sean, gadis innocent dengan lovebility khas anak SMA yang punya modal komplet jadi penyanyi itu, hanya meraih sms terendah. Anda percaya itu?

***

SATU detail aneh pada momen pengumuman hasil voting babak spektakuler 5 itu, sebelum jatuh veto juri, adalah bahwa sang MC, Daniel Mananta, menunda-nunda pengumuman hasil voting Sean.

Seingat saya bahkan sampai dua kali Daniel menundanya untuk diselingi break komersial. Dan ini hanya terjadi pada Sean. "Sean masih harus menunggu hasil votingnya," kata Daniel.

Tidakkah aneh jika hasil voting untuk kontestan lain sudah diketahui, tapi Sean belum? Kenapa Daniel harus menundanya 2 kali? Kenapa harus ada break, sampai kemudian diumumkan Sean tereliminasi?

Fakta lain yang juga tak boleh diabaikan adalah bahwa veto juri yang dianggap telah menyelamatkan Sean dari keharusan eliminasi itu, terbukti juga berbuah nyata bagi Freemantlemedia dan RCTI.

Perolehan sms untuk Sean di pekan berikutnya—yang juga berarti pemasukan bagi Fremantlemedia dan RCTI—serta-merta membesar, hingga dalam kesempatan pertama, Sean langsung dinyatakan aman.

Sampai sini, apakah Anda yakin hak veto itu adalah kebaikan Fremantlemedia dan RCTI yang diberikan kepada juri, katakanlah sebagai kompensasi atas otoritasnya yang sudah dihancurkan MC?

Atau sebenarnya hak veto itu otoritas semu milik juri yang sengaja diciptakan untuk menggenjot raihan sms—dengan mengeliminasi kontestan kandidat juara yang punya banyak dukungan seperti Sean?

Apakah juri lalu 'masuk perangkap' saat menjatuhkan veto untuk Sean, hingga alih-alih menyelamatkan seorang kontestan kandidat juara, juri malah bekerja untuk kemenangan Freemantlemedia dan RCTI?

Tentu saja rangkaian pertanyaan itu masih bisa diperpanjang. Termasuk daftar 9 skandal tadi. Toh tidak pernah ada penjelasan resmi. Dan sekali lagi, tidak ada transparansi.

Anda tentu boleh punya pandangan berbeda. Tapi sukar bagi saya untuk percaya, bahwa pada babak spektakuler 5 itu Sean memang meraih sms terendah seperti diklaim MC

Tapi saya tidak percaya bukan karena curiga bahwa hasil voting terendah untuk Sean itu hasil akal bulus RCTI & Freemantlemedia—agar setelah veto juri jatuh lebih banyak orang kirim sms untuk Sean.

Sebab boleh jadi memang tak seperti itu. Saya tidak percaya itu karena hasil voting yang diumumkan MC terdengar seperti tahayul. (bastanul.siregar@bisnis.co. id) (Foto: Daniel Mananta, Indonesian Idol)
 

No comments:

Post a Comment